Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan berada di sebuah ruangan berbentuk menyerupai huruf E, yang bangunannya berada di sayap kanan kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon. Sayang sekali ketika kami berkunjung, baik kondisi bangunan, keadaan ruangan maupun koleksi Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan ini berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, meskipun nilai koleksinya tak ternilai harganya. Keterbatasan dana sering menjadi alasan klasik keterlantaran sebuah museum. Meskipun dalam banyak kasus hal itu benar, namun yang juga sering terjadi adalah adanya kelemahan dalam pengelolaan museum, sehingga pemasukan keuangan tidak sebanding dengan biaya pengeluaran untuk melakukan perawatan, perbaikan dan peningkatan kualitas museum.
Pintu masuk Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan, dengan daun pintu kayu yang terlihat kuno dan dinding yang diwarnai dengan kerak-kerak jamur dan lumut. Pintu masuk dengan ornamen bunga di sisi kiri kanan dinding temboknya ini bisa menjadi sangat anggun dan cantik, jika saja dipoles lagi dengan baik.
Koleksi Gamelan Degung dari Banten di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan, dengan tebaran uang di sana sini yang mungkin disumbangkan oleh pengunjung dan tampaknya sengaja dibiarkan untuk mengundang lebih banyak lagi rupiah. Gamelan ini diserahkan tahun 1426 oleh Ki Gede Kawungcaang Banten setelah Putrinya yang bernama Dewi Kawung Anten diperistri oleh Sunan Gunung Jati.
Koleksi Rebana Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan peninggalan Sunan Kalijaga bertahun pembuatan 1412 dan sudah mulai terlihat rusak di sana sini. Ditengah terdapat genta bernama Bergawang, yang dipakai pada penobatan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan Auliya Negara Cirebon oleh Dewan Wali Sanga, pada tahun 1429.
Pada dinding menempel tengkorak buaya putih yang berasal dari Kali Krian, dan beberapa benda seni lain yang terlihat antik.
Koleksi Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan berupa seperangkat alat musik gamelan buatan tahun 1748, peninggalan Sultan Sepuh IV yang dinamai Gamelan Si Ketuyung.
Koleksi meriam dari Cina bertahun pembuatan 1676, yang agak kurang terawat di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan. Ada pula meriam-meriam peninggalan Portugis bertahun pembuatan 1527 yang diletakkan di geledekan di atas lantai Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan.
Rompi perang yang terbuat dari logam di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan. Rompi logam ini disebut Haranas, Malin atau Kere, yang merupakan peninggalan kolonial Portugis tahun 1527.
Koleksi alat debus dari Banten di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan, yang terlihat agak mengerikan, dengan batang logam panjang yang lancip dan tajam.
Koleksi Catur Sula buatan Sultan Sepuh V di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan. Catur Sula ini sangat mematikan, karena keempat sula di bagian samping berbentuk seperti clurit berpengait. Setelah musuh ditusuk dengan sula utama di tengah, maka catur sula akan diputar dan lalu ditarik kuat-kuat, yang akan menimbulkan luka yang sangat parah dan mungkin tak terobati lagi.
Sebuah pajangan di salah satu sudut Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan yang menunjukkan silsisah Kasultanan Kasepuhan Cirebon, yang dimulai dari Sunan Gunung Jati sampai Sultan yang masih bertahta.
Di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan juga terdapat seperangkat alat yang dipakai untuk upacara tedak siti, mudun lemah, atau turun ke tanah pada anak-anak usia 7 bulan, koleksi peninggalan Sultan Sepuh XI ini terdiri dari sangkar bambu, kursi dan tangga kecil berundak lima, yang dibuat pada 1899.
Sebuah ukiran kayu indah yang dibuat pada tahun 1582 oleh panembahan Girilaya, yang menggambarkan Dewa Ganesha sedang menaiki seekor Gajah. Di atas kepala Ganesha adalah motif mega mendung, yang merupakan ciri khas Keraton Kasepuhan Cirebon.
Sayang sekali Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan yang menyimpan begitu banyak benda bersejarah dan sangat berharga itu terlihat kurang terawat, dan koleksi-koleksinya umumnya dalam keadaan yang memprihatinkan. Sudah waktunya dinas terkait turun tangan untuk memperbaiki dan menata kembali koleksi Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan yang bernilai tinggi ini.
Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon adalah paduan unsur-unsur budaya Islam, Hindu, Buddha, Kristen (Barat), dan Konfusius (China). Ini bukti pembaru menghormati apa yang telah ada sebelumnya.
saat mendirikan Keraton Kasepuhan Cirebon pada 1529, Sunan Gunungjati mempertahankan unsur tradisi Hindu-Buddha dari Kerajaan Pandjadjaran. Salah satu penandanya adalah sepasang patung harimau berwarna putih di pelataran Kamandungan. Masyarakat Sunda pedalaman yakin, harimau adalah reinkarnasi sosok Prabu Siliwangi yang menjadi raja terakhir di Padjadjaran.
Jejak kebudayaan Hindu-Buddha juga tampak jelas pada kompleks bangunan sitihinggil (bahasa Jawa, siti: tanah, hinggil: tinggi) yang bercorak candi bentar—arsitektur khas zaman Majapahit—pada dua gapuranya, gapura adi di utara dan gapura banteng di selatan.
Di bawah gapura banteng ini terdapat candra sengkala dengan tulisan kuta bata tinata banteng yang kalau dibaca dari belakang merujuk tahun 1451 Saka atau 1529 Masehi. Kemungkinan besar sitihinggil inilah yang pertama kali dibangun sebelum bangunan lain menyusul kemudian.
Di dinding seluruh bangunan yang menggunakan material batu bata merah menempel aneka keramik China masa Dinasti Ming (1364-1644 M) dan keramik Delf dari Belanda. Di depan sitihinggil terdapat meja batu granit hadiah Sir Stamford Raffles, wakil Kerajaan Inggris yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Jawa (1811-1816).
Menurut pemandu keraton, Elang Mungal (51), bangunan sitihinggil berfungsi sebagai tempat sultan menyaksikan latihan perang prajurit keraton di alunalun yang berlokasi di sebelah utara keraton. Latihan ini dilakukan setiap hari Sabtu hingga disebut sebagai Sabtonan.
Di dalam kompleks sitihinggil terdapat lima bangunan berbahan utama kayu jati mirip pendapa tanpa dinding dan masing-masing memiliki nama serta fungsi berbeda. Bangunan utama yang terletak melintang dengan jumlah saka (tiang) 20 buah dinamai malang semirang yang melambangkan 20 sifat Allah SWT. Sementara saka guru (tiang utama) enam buah, yang melambangkan rukun iman. Di tempat inilah sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman.
Bangunan di sebelah kirinya bernama Pandawa Lima dengan lima buah saka yang melambangkan rukun Islam. Bangunan ini tempat para panglima perang. Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan dua saka yang melambangkan dua kalimat syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasihat sultan yang disebut penghulu.
Di belakang bangunan utama ada Mande Pengiring tempat berkumpulnya pengiring sultan. Sebuah bangunan lagi ada di sebelahnya, Mande Karasemen, di situlah para nayaga (penabuh gamelan) berada. Sampai sekarang, bangunan ini masih digunakan sebagai tempat membunyikan gamelan sekaten saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Selain itu, juga terdapat lingga-yoni. Dalam khazanah kebudayaan Hindu, lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Di atas tembok sekeliling sitihinggil terdapat Candi Laras untuk penyelaras kompleks itu. (E. Pudjiachirusanto)
Keistimewaan
Mengunjungi Keraton Kasepuhan seakan-akan mengunjungi Kota Cirebon tempo dulu. Keberadaan Keraton Kasepuhan juga kian mengukuhkan bahwa di kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, tapi juga dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina,India, Arab, dan Eropa. Hal inilah yang membentuk identitas dan tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini, yang bukan Jawa dan bukan Sunda.
Kesan tersebut sudah terasa sedari awal memasuki lokasi keraton. Keberadaan dua patung macan putih di gerbangnya, selain melambangkan bahwa Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjajaran, juga memperlihatkan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi Kerajaan Padjajaran. Gerbangnya yang menyerupai pura di Bali, ukiran daun pintu gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina, dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.
Nuansa akulturasi kian kentara ketika memasuki ruang depannya yang berfungsi sebagai museum. Selain berisi berbagai pernak-pernik khas kerajaan Jawa pada umumnya, seperti kereta kencana singa barong, dua tandu kuno, dan berbagai jenis senjata pusaka berusia ratusan tahun, di museum ini pengunjung juga dapat melihat berbagai koleksi cinderamata berupa perhiasan dan senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir, meriam Mongol, dan zirah Portugis. Singgasana raja yang terbuat dari kayu sederhana dengan latar sembilan warna bendera yang melambangkan Wali Songo. Hal ini membuktikan bahwa Kesultanan Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama Islam.
Selain itu, di halaman belakang pengunjung dapat melihat taman istana dan beberapa sumur dari mata air yang dianggap keramat dan membawa berkah. Kawasan ini ramai dikunjungi peziarah pada upacara panjang jimat yang digelar pihak keraton setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.