BREAKING NEWS

Minggu, 30 November 2014

ASAL USUL DESA PURWAWINANGUN

ASAL USUL DESA PURWAWINANGUN

ASAL USUL DESA PURWAWINANGUN - Kira-kira 3 km di sebelah utara pengguron Agama Islam Puser Bhumi Setana Gunung Jati terdapat Pasar Celancang yang padat dengan para pedagang dan pembeli dari bebereapa desa yang berada di wilayah kecematan Kapetakan, Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan Weru. Dilewati jalur jalan raya Cirebon – Indramayu dan angkutan pedesaan Celancang – Plered.

ASAL USUL DESA GUWA

ASAL USUL DESA GUWA - Ki Baluran yang juga disebut Ki Arga Suta atau Syeh Madunjaya adalah salah seorang putra Pangeran Gesang, demang dari kesultanan Cirebon. Dalam pembagian tanah cakrahan milik orang tuannya yang terletak di sebelah utara perbatasan wilayah Cirebon dan Indramayu, terjadi pertentangan pendapat dengan ketiga saudaranya terutama dengan adiknya Nyi Mertasari. Kedua saudara laki-laki termasuk dirinya berpendapat bahwa anak perempuan cukup mendapat bagian tanah sebesar payung. Pendirian tersebut ditentang Nyi Mertasari, karena menurutnya pembagian tanah harus sama luas.

Kamis, 20 November 2014

ASAL USUL DESA DUKUPUNTANG

ASAL USUL DESA DUKUPUNTANG - Pada waktu terjadi peperangan antara Mbah Kuwu Cirebon dengan Ratu Rajagakuh, pasukan Mbah Kuwu Cirebon dibagi dua kelompok. Kelompok pertama membentang ke jurusan selatan dengan maksud untuk mencegat datangnya musuh dari Rajagaluh, dan kelompok kedua ke jurusan barat untuk membuat benteng pertahanan/penghalang datangnya musuh lewat Bobos. Pendukuhan bekas pembentangan tersebut dinamakan Puntang

Kamis, 13 November 2014

Asal Usul Desa Pabedilan

Asal Usul Desa Pabedilan - Pangeran Sutajaya  Upas dari gebang sering berburu ( Bhs. Sunda: Bebedil) di suatu tempat/hutan yang belum berpenghuni yang banyak ditumbuhi pohon kesambi sambil membuat pesanggarahan. Daerah/hutan yang belum berpenghuni itu oleh Pangeran Sutajaya diberi nama Pabedilan, sesuai dengan arti twmpat itu (untuk berburu/bebedil).

Setelah beberapa waktu lamanya muncullah didaerah itu seorang yang bernama Ki Batisari berasal dari Luragung. Karena daerah Pabedilan telah berpenghuni walaupun belum banyak, maka Ki Batisari ditetapkan menjadi pemimpin/kuwu oleh Pangeran Cirebon, yang daerahnya meliputi sampai ke Desa Balagedog.

Rupanya jabatan kuwu itu dikehendaki pula oleh saudaranya Ki Buyut Batisari yang bernama Ki Rendot. Ki Buyutsari tidak menghendaki adanya perebutan kekuasaan, ia memilih mengalah dan kekuasaan diberikan kepada Ki Rendot. Ternyata jabatan Ki Rendot hanya sebentar saja, karena ia membangkang terhadap tugas dari Pangeran Cirebon, sehingga pihak penguasa Cirebon memberhentikannya dan mengangkat kembali Ki Batisari sebagai kuwu Pabedilan hingga memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Pada waktu Belanda datang terjadi perundingan antara Belanda dan Ki Batisari mengenai sewa pembuatan jalan umum dan jalan kereta api. Sejak itu Pabedilan terbagi tiga, yakni menjadi Desa Pabedilan Wetan , Pabedilan Kulon dan Balagedog, yang masing-masing dipimpin oleh seorang kuwu.
Setelah Ki Batisari meninggal dunia terjadilah perubahan cara pergantian jabatan kuwu. Seorang kuwu tidak  begitu saja diangkat, melainkan dipilih  langsung oleh rakyat atau sebelumnya diadakan kodrah umbuhan. Kebiasaan tersebut berlaku turun temurun hingga sekarang. Makam Ki Buyut Batisari dianggap keramat, sering dikunjungi dan dijadikan tempat menyepi setiap malam Jum’at Kliwon. Sebagian masyarakat Pabedilan sangat tabu/pamali/ipat-ipat/larangan memakan ikan lele, burung tekukur dan daging entog/itik.   

Kamis, 06 November 2014

ASAL USUL DESA BRINGIN

ASAL USUL DESA BRINGIN - Desa Bringin adalah salah satu desa dalam wilayah kecamatan Ciwaringin, kabupaten daerah tingka II Cirebon Luas wilayah desa Bringin 226,478 Ha. Dengan mata pencaharian penduduk mayoritas petani, dan beragama islam.

Konon, setelah perang kedongdong berakhir, 40 orang Ki Gede yang ikut berperang akan kembali ke tempat asal masing-masing. Dalam perjalanan pulang mereka beristirahat. Mereka bernaung di bawah pohon bringin yang rindang, dan karena kelelahan mereka tertidur dengan lelapnya. Ketika mereka bangun, ada aura tanpa ujud yang mengatakan bahwa orang yang datang ke tempat itu disebut KI Gede Bringin. Orang yang pertama datang adalah Ki Gede Srangin di kenal dengan sebutan Ki Gede Bringin.

Setelah bangun dari tempat tidur itu, ke empat puluh Ki Gede merasa haus dan ingin minum. Mereka akan mencari air untuk minum namun di cegah oleh Ki Gede Srangin, kemudian ki Gede Serangin menancapkan golok jimatnya yang bernama bandawasa ke tanah. Dari tancapan golok bandawasa, tanah itu keluar air. Mereka minum untuk menghilangkan dahaganya. Tempat keluar air itu akhirnya menjadi sebuah sumur yang disebut “sumur kedokan wungu”
-Kedokan artinya telaga
- Wungu artinya bangunan (tangi – Bhs. Jawa), yaitu para Ki Gede bangun dari tidurnya.
Sumur kedokan wungu terletak di sebelah utara desa bringin yang sekarang, ± 100 meter, di dalam sumur tersebut dulunya terdapat belut putih, ikan gabus pitak, ikan lele yang hanya ada kepalanya dan duri serta ekornya saja (tanpa ada dagingnya), dan kadang-kadang muncul bulus putih yang katanya bulus itu berasal dari Telaga Remis Cikarang,

Ke empat puluh Ki Gede, yaitu Ki Gede Srangin beserta kawan-kawannya pergi ke Kedongdong untuk membuat batas tanah. Batas tanah tersebut akhirnya disebut Rajeg Kedongdong, yang sekarang membatasi wilayah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Indramayu.

Setelah itu Ki Gede Bringin mengubur jimatnya yang bernama golok Bandawasa di Kedongdong, tempat tersebut sekarang disebut Ki Buyut Bandawasa. Kemudian ki Gede Srangin kembali ke tempat Sumur Kedokan Wungu dan disana membangun padukuhan. Padukuhan itu sekarang adalah Desa Bringin.

Sumber :http://vanhellsink.blogspot.com/2010/08/asal-usul-desa-bringin.html

Sabtu, 01 November 2014

ASAL MUASAL DESA PEGAGAN

ASAL MUASAL DESA PEGAGAN - Sebelum menjadi Desa Pegagan, wilayah ini dahulu kala terdiri dari hutan-hutan dan banyak rawa-rawanya. Karena hutan tersebut dipisahkan olah rawa-rawa dan sungai, maka Sunan Gunung Jati memberi nama wilayah itu Pulau Raja. Kemudian setelah hutan-hutan dibabad dan dibakar maka jadilah hamparan pesawahan yang sangat luas. Oleh penduduk tanah tersebut dijadikan lahan pertanian, disebut Pegagan. Maka bermukim di padukuan, sekarang Desa Dukuh. Melihat kesuburan tanah di Pegagan dan luasnya lahan yang tersedia, maka banyaklah penduduk yang berdatangan untuk ikut menggarap sawah dan ladang. Lambat laun karena banyak yang bermukim di Pegagan tersebut, maka jadilah perkampungan yang disebut kampung Pegagan, asal kata dari Pegagaan.

Jumat, 31 Oktober 2014

Sekilas Tentang Desa Balerante

BALERANTE, adalah sebuah Desadi wilayah Cirebon tepatnya di Jalan Raden Gilap Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat Indonesia.

Batas Administrasi Desa Balerante,
Desa Balerante terletak di sebelah barat laut Ibu kota Kabupaten Cirebon dengan jarak lebih kurang 8 KM. Luas wilayah Desa Balerante adalah 114,975 ha terdiri dari 6 Rukun Warga dan 12 Rukun Tetangga. Desa Balerante berbatasan dengan Desa Cilukrak, Panongan, Cikeusal, Palimanan barat , palimanan timur dan Semplo dengan batas adminsitratif sebagai berikut :

* Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cikeusal
* Sebelah timur berbatasan dengan Desa Semplo dan Panongan
* Sebelah utara berbatasan dengan Desa Palimanan Timur, Palimanan Barat dan Gempol
* Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cilukrak

Untuk lebih jelas secara rinci terlihat dalam Peta Desa Balerante

Kondisi Fisik Desa Balerante

Sawah Irigasi, Luas : 34,60 ha
* Sawah Irigasi setengah teknis, Luas : 4,30 ha
* Sawah Tadah hujan, Luas : 25,670 ha

Tanah Kering
Tegal / Ladang = 4,247 ha
Pemukiman = 33,350 ha

Kondisi Kependudukan
Jumlah Penduduk Desa Tahun Terakhir
Jumlah Penduduk Desa Tahun Terakhir berdasarkan sensus kependudukan tahun 2007 adalah : 5.217 Jiwa.

Jumlah Penduduk Menurut jenis kelamin :
I. Jumlah Laki-laki : 2.649 Jiwa
II.Jumlah Perempuan : 2.568 Jiwa


Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
Berdasarkan sumber mata pencaharian penduduk Desa Balerante, komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2006 tercatat sebagai berikut :
















Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
Jumlah penduduk menurut usia secara garis besar terbagi dalam dua kelompok yaitu :


















Kondisi Sarana dan Prasarana
Pada umumnya Kondisi sarana dan Prasarana yang sudah ada di Desa Balerante sudah cukup baik namun ada beberapa saja yang butuh perbaikan, bahkan perlu penambahan dan juga perlu pengadaan agar dapat memenuhi kebutuhan warga hususnya warga miskin

Sarana dan Prasarana Dasar Lingkungan

Air Bersih, Dalam memperoleh air bersih sebagian besar Desa Balerante memanfaatkan air tanah / sumur. Berdasarkan pengamatan, kondisi air bersih yang dimanfaatkan warga relatif baik dan memenuhi standar kesehatan, meskipun demikian dengan keberadaan industri batu alam hal ini masih perlu kajian analisa laboratorium mengingat dampak dari limbah industri batu alam dapat mencemari sumber air bersih yang selama ini dimanfaatkan warga baik untuk minum, masak maupun cuci dan mandi.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan air bersih, Desa Balerante mempunyai mata air 1 unit dan sumur galian 591 unit.

Drainase dan Saluran Pembuangan Air Limbah, Ditinjau dari daya tampung drainase dan SPAL yang ada, pada umumnya sudah cukup untuk dapat menampung limbah rumah tangga maupun hujan., Tetapi dikarenakan beberapa drainase dan SPAL yang ada mengalami kerusakan, maka dibeberapa lokasi bilamana hujan masih terjadi genangan air bahkan sampai meluap ke jalan. Hal ini berdampak pada mobilitas ekonomi dan sosial masyarakat serta kesehatan lingkungan itu sendiri. Drainase yang ada di Desa Balerante sebanyak 83 unit.

MCK, umum yang dimiliki warga Balerante sebagai sarana mandi, cuci dan buang air besar sebanyak 1 buah dengan lokasi di blok Pesantren dan dimanfaatkan oleh seratus orang. Dalam hal mandi dan cuci serta buang air besar, sebagian warga Balerante masih memanfaatkan kolam dan sungai yang ada. Meskipun demikian dari sudut pandang warga, hal tersebut bukan menjadi suatu permasalahan yang menDesak dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, bilamana permasalahan tersebut tidak segera diatasi akan berdampak pada masalah kesehatan lingkungan baik bagi warga Desa Balerante maupun warga Desa sekitarnya.
Kondisi MCK yang dimiliki Desa Balerante kurang memadai dan perlu di rehabilitasi agar dapat terwujudnya lingkungan yang bersih dan sehat. Dengan demikian dapat menunjang perilaku hidup bersih dan sehat bagi warga Balerante. Jumlah MCK yang terdata termasuk MCK pribadi di Desa Balerante, sebanyak 441 unit.

Jaringan jalan, sebagai prasarana transportasi untuk menunjang mobilitas ekonomi dan sosial warga Balerante secara garis besar terbagi menjadi kategori jalan provinsi, jalan kabupaten dan Jalan Desa serta gang. Untuk kondisi jalan provinsi dan kabupaten pada umumnya dalam kondisi baik dan dapat menunjang kegiatan perekonomian warga Balerante.
Dari sisi jaringan jalan Desa dan gang yang ada, sebagian ruas jalan Desa dan gang yang ada dalam kondisi yang kurang mendukung mobilitas warga di karenakan rusak, belum diplester atau kurang lebar, sehingga perlu peningkatan kualitas kondisi jalan Desa. Secara global jaringan jalan di Desa Balerante terbagi atas 1 protokol dan 12 jalan gang / lorong.

Untuk lebih jelas secara rinci terlihat dalam Peta Desa Balerante

Jaringan Listrik, Untuk jaringan listrik di Desa Balerante tercatat sebanyak 995 unit 3 gardu listrik. Namun masih ada rumah yang sama sekali belum memiliki listrik.

Untuk lebih jelas secara rinci terlihat dalam Peta Desa Balerante


Persampahan, Masyarakat Desa Balerante belum memiliki sistem pengelolaan sampah secara terorganisir baik oleh Desa maupun oleh RW. Kondisi ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang tidak mempersoalkan dalam pengelolaan sampah yang dilakukan selama ini yaitu melaui dibakar ataupun dibuang ke sungai. Tidak terkelolanya sampah disamping karena masih tersediannya lahan kosong yang luas, juga belum tersedianya Tempat Pembuangan Sampah Sementara yang untuk selanjutnya dikelola oleh pihak DKP kabupaten Cirebon


Potensi Ekonomi, Ditinjau dari letak geografis Desa Balerante sebagai daerah penyangga Ibukota kabupaten Cirebon, merupakan potensi yang baik dalam upaya peningkatan perekonomian Desa dengan ditunjang prasarana jalan yang semakin baik dan dapat dijangkau oleh berbagai sarana transportasi dengan mudah dan cepat. Perekonomian Desa Balerante perkembangannya sangat ditunjang oleh sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini tidak terlepas dari kondisi topografis dan geografis Desa Balerante. Potensi ekonomi yang secara umum menjadi gantungan bagi sebagian warga Balerante, terutama bagi warga miskin adalah bidang industri batu alam, Home Industri dan pertanian.

Hasil industri batu alam yang berlokasi di Desa Balerante pada tahun 2005 tercatat sebanyak 78.624 m2 dengan nilai Rp 2.987.712.000,- dan meningkat pada tahun 2006 sebanyak 95.904 m2 dengan nilai Rp 3.644.352.000,- Industri batu alam Desa Balerante mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 200 orang, dengan rata-rata penghasilan bagi pekerja di sektor industi batu alam sebasar Rp 30.000,- perhari.
Adapun di sektor pertanian, luas areal sawah yang ditanami padi dan palawija tercatat seluas 64,57 ha dengan hasil per hektar rata-rata Rp 4.000.000,-


Potensi pendidikan, Desa Balerante dengan meninjau sarana pendidikan yang dimiliki seperti diuraikan sebelumnya, pada prinsipnya dapat menunjang kesuksesan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Dari sisi kelembagaan masyarakat yang mendukung dan menyelenggarakan pendidikan terdapat Yayasan Pendidikan Islam yang menyelengarakan pendidikan RA,TPA, TKA, SD, SLTP, dan DAN SLTA, Ditinjau dari sumber daya manusia, sebagian besar warga Balerante berprofesi sebagai guru, sehingga untuk penyelenggaraan pendidikan informal yang murah dan dapat dijangkau warga Balerante guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bukan merupakan suatu ketidakniscayaan dapat dikembangkan.


Potensi Sarana Ekonomi, Pada dasarnya Desa Balerante tidak memiliki sarana ekonomi dalam bentuk pasar,, tetapi potensi ekonomi yang dapat mendukung peningkatan ekonomi warga Balerante telah tersedia. Sarana ekonomi yang dimiliki warga Balerante dan atau yang menunjang bagi perekonomian warga Balerante adalah : pabrik batu alam, kolam ikan dan lahan pertanian.

Untuk lebih jelas secara rinci terlihat dalam Peta Desa Balerante

Potensi Sarana Pendidikan,
Sarana Pendidikan yang dimiliki atau berlokasi di Desa Balerante adalah :


























2. PENDIDIKAN NON FORMAL






















Dari hasil pengamatan secara umum, kondisi sarana pendidikan yang ada di Desa Balerante cukup memadai guna mendukung peningkatan indeks pendidikan


Potensi Sarana Kesehatan, Sarana kesehatan sebagai salah satu faktor untuk menjamin tingkat kesehatan masyarakat, yang dimiliki atau yang berlokasi di Desa Balerante adalah Balai Kesehatan yang berlokasi di Blok Desa dan Posyandu yang dilaksanakan di setiap blok Pabrik ( utara.


Potensi Lembaga Swadaya Masyarakat, Potensi lain yang dapat menunjang upaya penanggulangan kemiskinan di Desa Balerante adalah kelembagaan masyarakat. Berbagai kelembagaan masyarakat yang berkedudukan di Desa Balerante baik formal maupun informal dengan berbagaii potensinya adalah sebagai berikut :

  • BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) merupakan lembaga kepemimpinan kolektif yang beraktivitas pada upaya penangulangan kemiskinan secara partisipatif yang berorientasi pada aspek tridaya.

  • LPMD (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa), wadah bagi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan dalam pembangunan Desa. Lembaga ini dibentuk oleh Pemerintah.
  • Kelompok pengajian, sebagai perkumpulan yang berorientasi pada keagamaan, yang dapat digerakkan pada mewujudkan kebersamaan dan perbaikan moral.
  • PKK dan Posyandu, merupakan lembaga yang dibentuk Pemerintah guna memantau dan meningkatkan kesehatan balita, ibu hamil dan menyusui.
  • KELOMPOK KREASI ANAK MUDA (NURUL MUSTOFA) merupakan tempat berkumpulnya pemuda yang di dukung oleh beberapa toko masyarakat guna menyalurkan bakat mereka, dalam sebuah wadah positip bernama NURUL MUSTOFA

  • Dan masih ada banyak lagi lembaga / yayasan / perkumpulan yang ada di Desa Balerante, diantaranya seperti :
    Karang Taruna, MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) Desa, DKM (Dewa kemakmuran masjid ) dan masih banyak yang lainnya

    Kamis, 30 Oktober 2014

    Wisata Pancuran Daris Balerante







    GERBANG MASUK KOLAM WISATA PANCURAN DARIS DESA BALERANTE PALIMANAN CIREBON












    GERBANG MASUK WILAYAH WISATA PANCURAN DARIS DESA BALERANTE PALIMANAN CIREBON














    PESONA ALAMI WISATA PANCURAN DARIS DESA BALERANTE PALIMANAN CIREBON














    PESONA ALAMI WISATA PANCURAN DARIS DESA BALERANTE PALIMANAN CIREBON











    Wisata Pancuran Daris adalah sebuah sittus peninggalan sejarah Jaman dahulu yang terletak di RT03 RW02 Desa Balerante Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon Jawa Barat Indonesia


    Wisata Pancuran Daris Merupakan satu-satunya Wisata Alam di Desa Balerante, dan dipercaya oleh masyarakat, baik masyarak sekitar Desa ataupun dari sekitar Kabupaten dan masyarakat luar daerah juga bahwa Air Pancuran Daris masih mempunyai kekuatan Mistik, terbukti dengan sering datangnya masyarakat dari luar daerah untuk mengambil air dari Pancuran Daris ini, terlebih malam Jum'at apalagi Malam Jum'at Kliwon

    Setiap malam jum'at, Masyarakat sekitar Pancuran dan dan juga masyarak luar daerah berkumpul mengadakan Ritual Do'a bersama, Tahlil dan juga bimbingan Rohani oleh seorang ustadz setempat. dengan terus belajar pengurus Wisata Pancuran Daris Terus Berbenah, guna menuju ke langkah yang lebih baik

    Rabu, 29 Oktober 2014

    Asal Usul Kelurahan Sumber

    Asal Usul Kelurahan Sumber - Sekitar abad XV disuatu daerah yang sekarang dinamakan Desa/Kelurahan Sumber, terdapat sekelompok masyarakat yang menganut agama sanghiang dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Namun setelah tokoh-tokoh dari Cirebon datang ke daerah ini untuk menyebarkan agama Islam, sebagian dari mereka tertarik, dan kemudian menganut Islam. Sementara yang tidak tertarik pergi meninggalkan Sumber.

    Para Wali seringkali mengadakan ceramah atau musyawarah di puncak Gunung Ciremai. Gunung tertinggi di Jawa Barat ini dikatakan Gunung Ciremai karena sering dijadikan tempat ceramah para wali. Ketika berangkat ke Gunung Ciremai atau kembalinya, para wali selalu sinngah berlama-lama didaerah Sumber untuk memantau perkembangan agama Islam. Oleh karena itu didaerah Sumber pernah direncanakan  untuk mendurukan sebuah pesanggrahan atau keraton kecil, namun dibatalkan karena ada salah seorang wali yang tidak menyetujuinya. Meskipun tembok/dinding atau kuta kosong telah mulai dibangun. Itulah sebabnya disebelah selatan Polsek Sumber sekarang terdapat nama blok Pesanggrahan , Kuta Kosod, dan Perwatalan. Disektar tempat peristirahatan para Wali itu dibuat sebuah taman (Taman Sari) yang didalamnya terdapat kolam atau balong (Bhs. Sunda), yang sekarang menjadi Situs Balong Sumber.
    Setiap tahun ketika tiba musim kemarau, masyarakat sering kesulitan air. Salah seorang wali mencoba mencari air dengan mendongkel tanah, kemudian keluarlah air bersih yang berlimpah – limpah. Maka dibuatlah sebuah tuk, yang sekarang disebut Tuk Melanse, Tuk Mudal, Tuk Gumer dan Tuk Luak. Setelah ditemukannya mata air (Sumber air bersih) yang sangat dibutuhkan masyarakat, maka daerah ini semakin ramai dan banyak dikunjungi dan akhirnya daerah tersebut disebut Sumber.
    Tersebutlah seorang perempuan bernama Nyi Mas Rarakuning., yang sangat sabar dan patuh serta setia mengabdi kepada para wali dalam perjuangannya. Sebagai imbalan jasa atau tanda jasa terhadapNyi Mas Rarakuning, para wali mengangkatnya sebagai pimpinan dengan julukan Nyi Gede Sumber.
    Pada suatu saat Kerajaan Rajagaluh berusaha menghambat perkembangan agama Islam di daerah Sumber, bahkan ingin menghancurkan Kesultanan Cirebon. Atas kesigapan serta kwaspadaan Nyi Gede Sumber dengan tokoh – tokoh Islam lainnya, pasukan Rajagaluh dapat dipatahkan, dan banyak yang ditawan segingga akhirnya menganut agama Islam. Diantara yang ditawan itu adalah Kencana Wungu seorang perempuan mata-mata dari Rajagaluh.
    Sebagai imbalan kepada Kencana Wungu yang kemudian membantu perjuangan Nyi Gede Sumber dalam mengembangkan agama Islam, maka Kencana Wungu diserahi tugas untuk merawat atau memelihara taman sari. ( Pada tanggal 1 Maret 1982 Menteri  Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat Anirin dan Dasma sebagai Juru Pemelihara Organik Situs Balong Sumber).
    Dalam membangun Desa Sumber, Nyi Gede Sumber dibantu oleh tokoh-tokoh Islam seperti :
    1. Pangeran Panjul.
    2. Pangeran Sampiran.
    3. Pangeran Panjang.
    4. Pangeran Parakamuncang.
    5. Ki Gede Dermayu.
    6. Ki Gede Siwalan.
    7. Ki Gede Semu
    8. Ki Gede Jaka Karti
    9. Ki Gede Cikuya
    10. Ki Gede Ranggajati
    11. Ki Gede Jatijajar
    12. Ki Gede Agus
    13. Ki Gede Patih Jongkara
    14. Ki Gede Sawud/Nyi Gede Sawud
    15. Ki Gede Pataraksa
    16. Ki Gede Anderwangu

    Nyi Mas Rarakuning menikah dengan Ki Gede Wanakerta, dan dikaruniai seorang putrid bernama Nyi Mas Rara Sakti. Ki Gede Wanakerta adalah seorang ahli bercocok tanam, seperti di Sungai Cipager ia menanam manggis, dan hingga sekarang daerah tersebut bernama blok Pemanggisan. Disebelah utaranya menanam salak, hingga daerah tersebut terkenal dengan nama Desa Pasalakan..
    Mulai tahun 1981 Desa Sumber berubah status menjadi Kelurahan. Lurah yang pertama adalah Ahmad Mista.       

    Selasa, 28 Oktober 2014

    Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

    Pangeran Cakrabuana (…. –1479)

    Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
    Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
    Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

    Sunan Gunung Jati (1479-1568)

    Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
    Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

    Fatahillah (1568-1570)

    Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.[1]

    Panembahan Ratu I (1570-1649)

    Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

    Panembahan Ratu II (1649-1677)

    Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
    Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
    Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

    Terpecahnya Kesultanan Cirebon

    Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

    Perpecahan I (1677)

    Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
    • Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
    • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
    • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
    Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

    Perpecahan II (1807)

    Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
    Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

    Masa kolonial dan kemerdekaan

    Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
    Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

    Perkembangan terakhir

    Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
    Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
    Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.

    Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Cirebon

    Sabtu, 25 Oktober 2014

    Kereta Kencana Paksi Naga Liman

    Kereta Kencana Paksi Naga Liman

    Kereta kencana Paksi Naga Liman adalah kereta kencana milik Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Dulu, kereta ini digunakan raja Keraton Kanoman untuk menghadiri upacara kebesaran. Selain itu, kereta ini juga digunakan untuk kirab pengantin keluarga Sultan Kanoman. Kereta tersebut diperkirakan dibuat tahun 1608 berdasarkan angka Jawa 1530 pada leher badan kereta yang merupakan angka tahun Saka. Sejak tahun 1930, kereta ini tidak digunakan dan disimpan di museum Keraton Kanoman; sedangkan yang sering dipakai pada perayaan-perayaan merupakan kereta tiruannya.

    Rabu, 22 Oktober 2014

    ASAL USUL DESA TRUSMI


    ASAL USUL DESA TRUSMI - Pada Waktu Mbah kuwu Cirebon yang bernama Pangeran Cakrabuana hijrah dari Cirebon ke sebuah Daerah yang sekarang disebut Trusmi, mbah Kuwu Cirebon berganti pakaian memakai baju kyai yang tugasnya menyebarkan ajaran agama Islam. Hingga sekarang ia dikenal dengan nama Mbah Buyut Trusmi.

    Mbah Buyut Trusmi adalah putra dari Raja Pajajaran Prabu Siliwangi yang datang ke Trusmi disamping menyebarkan agama Islam juga untuk memperbaiki lingkungan kehidupan masyarakat dengan mengajarkan cara-cara bercocok tanam. Pangeran Manggarajati ( BUNG CIKAL ) putra pertama Pangeran Carbon Girang, yang di tinggal mati ayahnya ketika Bung Cikal kecil. Kemudian Bung Cikal diangkat anak oleh Syekh Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ) dan diasuh oleh Mbah Buyut Trusmi.

    Kesaktian Bung Cikal sudah terlihat sejak masih kecil yang sakti mandraguna. Salah satu kebiasaan Bung Cikal adalah sering merusak tanaman yang ditanam oleh Mbah Buyut Trusmi. Teguran dan Nasehat Mbah Buyut Trusmi selalu tidak di hiraukannya, namun yang mengherankan, setiap tanaman yang dirusak Bung Cikal tumbuh dan bersemi kembali sehingga lama kelamaan pedukuhan itu dinamakan TRUSMI yang berarti terus bersemi. (Pedukuhan Trusmi berubah menjadi sebuah Desa di perkirakan tahun 1925, bersamaan dengan meletusnya perang Diponegoro ).

    Bung Cilkal meninggal ketika menginjak usia remaja dan dimakamkan di puncak Gunung Ciremai. Konon pada akhir zaman akan lahir RATU ADIL, titisan dari Pangeran Bung Cikal. Setelah Mbah Buyut Trusmi meninggal, ia digantikan KiGede Trusmi, orang yang ditaklukkan Mbah Buyut Trusmi, dimana kepemimpinan Trusmi dilanjutkan oleh keturunan Ki Gede Trusmi secara turun temurun.

    Desa Trusmi termasuk wilayah Kecamatan Weru, dan telah dimekarkan menjadi dua yaitu Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Situs Ki Buyut Trusmi merupakan peninggalan Mbah Buyut Trusmi terletak di Trusmi Wetan. Bangunannya terdiri dari Pendopo, Pekuncen, Mesjid Kuno, Witana, Pekulaha/Kolam, Jinem, Makam Buyut Trusmi dam Pemakaman Umum.

    Situs Buyut Trusmi dipelihara dan dikelola oleh keturunan dari Ki Gede Trusmi hingga sekarang, yang semuannya berjumlah 17 orang yang terdiri dari 1 orang pemimpin, 4 orang kyai, 4 orang juru kunci, 4 orang kaum/pengelola mesjid, dan 4 orang pembantu/ kemit.

    Acara tradisional yang masih tetap dilestarikan sampai sekarang diantaranya : Arak-arakan, Memayu, Ganti Welit dan Trusmian atau Selawean yaitu acara memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW.

    Senin, 20 Oktober 2014

    Sejarah Batik Trusmi Cirebon

    Sejarah Batik Trusmi Cirebon - Trusmi berada di daerah Kabupaten Cirebon, desa yang hingga saat ini telah menjadi sentra bisnis batik, dan menjadi object wisata batik dan belanja batik, desa tersebut terbagi dua yaitu desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Desa ini terletak sekitar 5 km dari pusat kota Cirebon. Batik trusmi mulai ada sejak abad ke 14. Asal muasal desa trusmi yaitu suatu daerah dimana saat itu tumbuh banyak tumbuhan dan pepohonan, pada saat itu ketika para warga menebang tumbuhan tersebut namun seketika itu juga tumbuhan itu tumbuh kembali. Sehingga tanah tersebut dinamakan Desa Trusmi yang berasal dari kata terus semi atau terus bersemi yang akhirnya berkembang hingga saat ini menjadi desa batik cirebon.

    Minggu, 19 Oktober 2014

    Asal Usul Sandiwara Cirebon

    Asal Usul Sandiwara Cirebon - Sandiwara Cirebon dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan sebutan "masres" pada tahun 1940-an, ketika Cirebon diduduki oleh kolonialis Jepang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun para tokoh sandiwara Cirebon saat ini, disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, di daerah Cirebon muncul kesenian yang digemari oleh masyarakat yaitu reog Cirebonan, yang terkenal dengan nama reog sepat.

    Jumat, 17 Oktober 2014

    Asal Usul Desa Tukmudal


    Asal Usul Desa Tukmudal - Raden ganda Mulya alias Pangeran Atas Angin atau Raden Walangsungsang mendapat tugas dari ayahhandanya  untuk mencari adiknya Prabu Gagak Sengara yang sudah lama meninggalkan istana Pajajaran. Usaha pencariannya belum juga mendapatkan hasil walau hampir seluruh pelosok daerah telah jelajahinya. Raden Ganda Mulya meneruskan pencariannya hingga tiba disuatu daerah yang dipenuhi pohon jati besar –besar yang sudah berumur ratusan tahun dan disekelilingnya di tumbuhi alang-alang. Sungguh diluar dugaan, disitulah Raden Ganda Mulya dipertemukan dengan adiknya.

    Raden Ganda Mulya sangat bergembira dapat bertemu kembali dengan adiknya yang sudah lama menghilang. Keduanya memutuskan untuk sementara menetap di daerah itu. Oleh karena tempatnya sangat sejuk, hutannya tertata rapih dan aman tanpa gangguan apapun, sehingga dipastikan wilayah ini berada dalam suatu pemerintahan yang adil dan makmur.
    Selanjutnya raden Ganda Mulya yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Blewuk menamakan tempat ia bermukim itu Wanakerta, dan ia dikenal pula sebagai Ki Gede Wanakerta. “Wana” artinya hutan, dan “Kerta” artinya aman sejahtera.  Pada suatu saat ketika Ki Blewuk sedang asyik menanam alang-alang , tiba-tiba serombongan kerbau milik Ki Gede Matangaji datang merusak, dan tanaman alang-alang yang ditanamnya habis dimakan kerbau-kerbau yang memiliki tanduk panjang ke depan tersebut. Saking kesalnya, Ki Blewuk menangkap kerbau-kerbau tersebut lalu menekukan tanduk-tanduknya ke bawah, sehingga tanduk kerbau menjadi dongkol, melengkung ke bawah. ( Konon sejak peristiwa itulah tanduk kerbau bentuknya tidak lurus ).
    Ki Gede Matangaji tidak menanggapi laporan masyarakat Wanakerta bahwa kerbaunya merusak tanaman Ki Blewuk. Namun ia menjadi marah tak terkira melihat tanduk kerbau-kerbau kesayanganya dongkol melengkung ke bawah. Segeralah ia mengumpulkan pasukannya untuk membuat perhitungan kepada Ki Blewuk.
    Ketika Ki Gede Matangaji datang bersama pasukannya, Ki blewuk tidak langsung menghadangnya, namun ia hanya mengambil sajadah dan menghamparkannya diatas tanaman alang-alang intuk meleksanakan shalat.
    Ki Gede Matangaji beserta pasukannya sangat terkesima, tidak berani mendekat melihat kesaktian Ki Blewuk yang sangat tinggi. Tanpa pertarunga Ki gede Matangaji beserta pasukannya kabur tunggang langgang meninggalkan Ki Blewuk yang sedang melaksanakan shalat.
    Pasukan Wanakerta datang untuk melucuti semua senjata dan pusaka yang ada. Ki Gede Matangaji ketakutan dan melarikan diri ke wilayah timur yaitu daerah Semarang.  Demikian pula pasukan Matangaji tidak ada yang berani menampakan diri, kecuali seorang pawongannya yang bernama Tumenggung Bule.
    Setelah Ki Blewuk bersama pasukannya kembali ke Wanakerta, Tumenggung Bule mengumpulkan sisa-sisa pusaka yang ada, lalu dimasukan kesebuah  peti kandaga yang terbuat dari kayu jati tua. Peti tersebut lalu dibawa kedaerah utara Wanakerta untuk dikuburkan. Setelah selesai penguburan pusaka, Tumenggung Bule menuju Telar asem untuk membuat gubug tempat tinggal.
    Ki Gede Blewuk yang memilik pusaka golok cabang itu sangat terkenal dengan sebutan namanya “Blewuk” , oleh karena kebiasaannya memakai pakaian yang serba hitam, mulai topi, baju, celana komprang, hungga alas kaki. Pada masa itu masyarakat Wanakerta dilarang memakai pakaian yang serba hitam oleh karena dianggap menghina Ki Blewuk.
    Ki Gede blewuk memasuki daerah Wanakerta sebelah timur setelah mendapat kabar akan kedatangan tamu dari Ratu Galuh. Seluruh warga wanakerta bersama Ki Blewuk menyambut kedatangan Ratu Galuh bersama rombongannya. Akibat menempuh perjalanan yang cukup jauh, Ratu galuh bersama rombongannya merasakan  haus yang tiada terkira. Menyaksikan Ratu Galuh kehausan , Ki blewuk segera menancapkan tongkatnya pada tanah disamping Ratu Galuh duduk. Airpun memancar dengan deras dan jernih, sehingga tanpa dikomando Ratu Galuh bersama rombongannya segera minum air tuk itu.
    Sebenarnya kedatangan Ratu galuh ke Wanakerta bukan untuk berdamai, melainkan untuk berperang melawan Ki Blewuk beserta masyarakatnya. Ki Blewuk terpaksa meladeni keinginan Ratu galuh, bertanding satu lawan satu. Setelah bertarung cukup lama, Ratu galuh beserta pasukannya terdesak mundur  yang akhirnya mereka tunduk. Untuk mengenang peristiwa Tuk memancarkan air jernih yang melimpah  ( Mudal – Bahasa Sunda )Ki Gede Wanakerta menamakan daerah itu Tukmudal
    Susunan Kuncen
    1.       Sakat
    2.       Sarjani
    3.       Kawi
    4.       Kadani
    5.       Jamsari
    6.       H. Safi’i

    Kamis, 16 Oktober 2014

    Asal Usul Desa Wanasaba

    Asal Usul Desa Wanasaba - Wanasaba adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Talun, kurang lebih 6 KM dari Ibukota Sumber. Diantara semua desa yang ada di kecamatan talun , terdapat dua desa yang namanya sama, hanya dibedakan dengan nama dibelakangnya Lor dan Kidul, yaitu Desa wanasaba Lor dan Wanasaba kidul.
    Di Desa Wanasaba Kidul terdapat beberapa peninggalan sejarah yang ada hubungannya dengan Kasultanan yang ada di Keraton Cirebon yaitu sebuah Balong yang dinamakan Balong Widara, disitu terdapat rumah bekas keturunan Sultan Cirebon.

    Selain yang ada di Balong Widara, ada pula rumah bekas keturunan Sultan Cirebon yang lokasinya sekarang dipinggir jalan Wanasaba-Kubang Kecamatan Sumber sebelah barat atau tepatnya sebelah utara Balai Desa Wanasaba Kidul.
    Pada Zaman penjajahan jepang, Ki Gede Singaperjangga (Ki Gede Wanasaba) mendapat perintah untuk merubah nama Dukuh Dalem Cirebon Ilir menjadi Desa Wanasaba. Masih pada zaman jepang, Desa Wanasaba dipecah menjadi Wanasaba Lor dan Wanasaba Kidul sampai sekarang. Sedangkan Wanasaba berasal dari kata wana=alas atau hutan, dan saba=dikunjungi (dilongok-bhs sunda). Wanasaba berarti alas atau hutan yang dikunjungi.
    Di Desa wanasaba ada sebuah blok/kampung yang disebut blok Balong, karena disitu terdapat beberapa balong kepunyaan masyarakat, namun ada satu balong yang menarik karena keunikannya. Kurang lebih tahun 934 M, Pangeran Ahmad Samaun dari Kasultanan Kanoman memugar Balong tersebut dan dijadikan sebagai tempat kediamannya, sehingga ia terkenal dengan sebutan Pangeran Balong.
    Di kompleks balong tersebut terdapat dua buah menhir yang tegak, tinggi dari permukaan tanah kurang lebih 70 cm dan lebarnya 30 cm yang terkesan seperti Lawang Saketeng (Gapura) keraton tempo dulu. Konon pada zaman dulu tak seorangpun diperbolehkan lewat di antara dau buah batu itu tanpa di ketahui maksudnya. Di kompleks ini terdapat pula sebuah balong yang berbentuk huruf L.
    Menurut keterangan Elang Alimi ( Putra keempat dari Pangeran Balong ) yang bernama asli Elang Jatmaningrat bin Pangeran Ahmad Samaun ( Pangeran Balong ), ketika balong tersebut dipugar memang sudah berbentuk huruf L, namun balong tersebut dalam keadaan tidak teratur dan tertimbun tanah, sedangkan batu-batunya masih tetap tersusun rapi hanya ada beberapa bagian yang di tambah dengan batu-batuan yang hampir sama bentuknya, dan sayang sekali kini bentuk huruf L-nya telah mengalami perubahan.
    Ditengah kolam terdapat empat buah tumpukan batu, yang seakan-akan mengandung makna tertentu, karena setiap tumpukan terdiri dari tiga buah batu yang tidak jauh letaknya dengan pohon beringin yang lurus menatap langit terkurung air. Disebelah timur kolam pernah berdiri sebuah bangunan kuno yang disebut Pancaniti. Bangunan ini tidak mempergunakan genteng yang terbuat dari tanah, akan tetapi mempergunakan welit (Alang-alang) sebagai atapnya yang diikat rapi, sayang sekali puing-puingnya kini telah musnah tiada bekasnya.
    Selain itu, sebelah utara Balai Desa Wanasaba Kidul atau tepatnya disebelah barat jalan menuju Desa Kubang, terdapat bekas reruntuhan rumah keraton sebagai rumah biasa, yakni peristirahatan permaisuri.  

    Rabu, 15 Oktober 2014

    Asal Usul Desa Kenanga

    Asal Usul Desa Kenanga - Kira-kira abad ke – 17 disebuah kawasan hutan belantara yang belum memiliki nama orang-orang sedang membabat hutan, mereka di kejutkan dengan diketemukannya kebun yang sangat luas. Di kebun yang terhampar luas itu terdapat aneka pepohonan tumbuh dengan subur diantaranya adalah pohon kenanga yang banyak tumbuh di kebun itu. Selanjutnya di kebun itu di bangun pedukuhan dengan nama Pedukuhan Kenanga.

    Segenap masyarakat di Pedukuhan Kenanga baik petani maupun pemuda beramai-ramai menanam padi, hutanpun dibuat sawah untuk bercocok tanam. Setelah padi dipanen hasilnya melimpah, karena tidak ada tempat untuk menyimpan, maka dibuatlah tempat menyimpan padi yang bentuknya seperti sebuah pondok yang sangat besar, sehingga dikampung tersebut terkenal dengan nama Kampung Pondok Pari. Ketika itu kendaraan masih belum banyak, yang ada hanyalah pedati dan dokar, sedangkan kendaraan yang berupa pedati untuk mengangkut padi dari sawah yang habis dipanen menuju sebuah tempat penyimpanan padi. Sedangkan dokar untuk mengangkut orang yang hendak bepergian.
    Sejak saat itu pula banyak masyarakat yang menanam pohon yang berguna terutama pohon kenanga di kawasan hutan belantara yang baru dibuka oleh masyarakat. Sekarang Pedukuhan Kenanga dijadikan Desa Kenanga.
    Awalnya Desa Kenanga termasuk wilayah Kecamatan Plumbon, namun pada tahun 1999 berubah menjadi kelurahan dan termasuk wilayah Kecamatan Sumber.
     
    Copyright © 2015 Kabupaten Cirebon
    Modif By Ari Saeful Bahri