BREAKING NEWS

Selasa, 10 Maret 2015

Asal Muasal Desa Lemahtamba

Raden Walangsungsang (Putra Prabu Siliwangi dari permaisuri Ratu Subang larang) Secara diam-diam meninggalkan Keraton Pajajaran untuk menuntut ilmu dan mamperdalam Syariat Islam. Kepergian tersebut sekalipun dilarang ayahandanya, dilakukan dengan tekad yang kuat membaja serta untuk memenuhi pesan ibunya sebelum meninggal. Keesokan harinya gegerlah Keraton Pajajaran atas kepergian Raden Walangsungsang tersebut.

 Perjalanan Raden Walangsungsang menuju kea rah Timur dan sampailah di Kaki Gunung Berapi. Di tempat ini ia berguru kepada Sang Danurwarsih. Ia kemudian diberi cincin Ampal oleh gurunya yang punya banyak khasiat. Selanjutnya Raden Walangsungsang  dinikahkan dengan putrinya yang cantik jelita bernama Nyai Mas Ratu Ending Geulis.
 
Di Keraton Pajajaran, Nyai Mas Rarasantang adik Raden Walangsusang, juga pergi meninggalkan keraton menyusul kakaknya. Gemparlah Keraton Pajajaran yang kedua kalinya.
 
Setelah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan akhirnya Nyai Mas Rarasantang dapat bertemu dengan kakak besertaistrinya di kaki Gunung Merapi. Dengan rasa haru dan bahagia mereka melepas kerinduan. Nyai Mas Rarasantang menceritakan suka duka dalam perjalanan, antara lain bertemu dengan Nyai Endang Sukati di Gunung Tangkuban Perahu yang memberinya sepasang baju Sang Dewa Mulya, dan ketika sampai di Gunung Liwung bertemu dengan Ki Ajar Sakti yang memberi petunjuk  agar ia menuju kaki Gunung Ciremai.
 
Setelah cukup lama Raden Walangsungsang beserta istri dan adiknya berada di Kaki Gunung Berapi, mereka kemudian mohon pamit kepada Sang Danuwasih untuk melanjutkan pengembaraan. Oleh Sang Danuwarsih, mereka diberi petunjuk agar menuju Gunung Ciangkup.
 
Di Gunung Ciangkup,Raden Walangsungsang bertemu dengan Sang Hyang Nanggo yang memberinya pusaka “Golok Cabang”.
 
Raden Walangsungsang melanjutkan perjalanan menuju Gunung Kumbang. Ditempat ini bertemu dengan Sang Hyang Naga dan memberikan tiga buah pusaka, yaitu:
1.      Peci Waring, Khasiatnya bila dipakai tidak terlihat
2.      Batok Bolu, dapat mengatur mahluk halus
3.      Umbul waring, agar selamat dari fitnah musuh.
Sang hyang naga memberi petunjuk agar raden walangsungsang menuju Gunung Cangak menemui Ratu Bangau. Kemudian Ratu Bangau memberi pusaka piring panjang, pendil dan bareng, dan menasehatinya apabila ingin berguru ilmu sejati (Syariat Islam) hendaklah datang ke Syekh Datul Kahfi/Syekh Nurjati di perguruan Gunung jati.
 
Raden Walngsungsang beserta istri dan adiknya melanjutkan perjalanan menuju perguruan Gunung Jati. Setelah perjalanan jauh mereka beristirahat disuatu tempat dibawah pohon, teringat akan pesan dan nasehat sang Ibunya Nyai Mas Subang Larang, apabila mengalami sakit atau lelah, cungkillah tanah dengan kujang pusaka dan balurkan ke bagian tubuh yang sakit maka hilanglah rasa lelah dan rasa sakit itu dan akan terpancar air dari dalamnya.
 
Tempat keluarnya mata air itu kemudian menjadi sebuah sumur yang sekarang dikenal dengan sebutan sumur Karomat sedangkan daerah sekitar itu dikenal dengan nama Pademangan Cikujang. Nama Cikujang diambil dari kata CI+KUJANG, yang mengandung arti Ci berasal dari kata Cai (bhs sunda) = Air, Kujang adalah nama pusaka yang dipergunakan Raden Walangsungsang.
 
Pademangan Cikujang selanjutnya diganti dengan nama Lemah Tamba. Lemah (bhs Jawa)= Tanah, Tamba (bhs jawa) = obat. Jadi lemahtamba mengandung pengertian lemah sing bisa dadi tamba (Tanah yang dapat dijadikan obat). Nama ini diambil dari kejadian ketika Raden walangsungsang mengobati rasa sakit dan letihnya, ia mencungkil tanah dengan kujang pusakanya, yang kemudian tanah itu dibalurkan sehingga sembuhlah rasa sakit dan letihnya.

Asal Muasal Desa Leuweung Gajah

Pangeran Walangsungsang putra Prabu Siliwangi adalah Sultan Cirebon yang dikenal dengan sebutan Ki Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana. Pada suatu waktu beliau bermaksud melakukan tapa sambil menyiarkan dakwah ke wilayah timur. Tampuk kesultanan untuk sementara diserahkan kepada keponakannya Syekh Syarif Hidayatullah.

Pangeran Walangsungsang dalam menyiarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa senantiasa dibarengi dengan melakukan tapa (tirakat) di beberapa tempat, sehingga orang menyebutnya Ki Gede Pertapa.
 
Dalam salah satu perjalanan tapanya beliau mengajak putrinya Nyi Mas Cici beserta empat orang abdi dalemnya yang bernama Pangeran Danalampah, Pangeran Tenjosari, Nyi Mas Gandasari dan Nyi Mas Bodaya Kembang.
 
Sampailah Ki Gede Pertapa beserta para abdinya disebuah hutan belantara yang luas dan angker. Hutan itu dikenal dengan sebutan “ Leuweung Gede”. Untuk melepas lelah beristirahatlah mereka dibawah pohon lagoni (tempat itu kemudian dikenal dengan nama Blok Lagoni).
 
Sementara itu para danghyang yang menguasai hutan belantara Leuweung Gede mengetahui kedatangan rombongan Ki Gede Pertapa. Para penguasa rimba raya itu antara lain Nyi Mas Rambut Kasih dan pangeran Jaga Lonang bertempat di Cogobang Girang, Pangeran barangbang Siang di Cibogo, Pangeran Baranang Siang di Balagadog (Kubang Periuk), dan Pangeran jaga Utara di Bandarasri (Kubang kareo).
 
Kelima danghyang dibawah pimpinan Nyai Rambut Kasih mencoba menghalangi kedatangan Ki Gede Pertapa. Dengan berbagai cara mereka ingin menundukan Ki gede Pertapa namun Ki Gede Pertapa, namun Ki Gede Pertapa adalah orang yang linwih sehingga para danghyang dapat ditaklukan, dan mereka berjanji akan mengabdi kepada Ki Gede Pertapa.
 
Ditempat itu, Ki Gede Pertapa  berkeinginan membangun sebuah pedukuhan. Oleh karena itu para abdinya diperintahkan untuk menebang pepohonan di daerah Lagondi untuk dijadikan padukuhan yang nantinya dibangun sebuah pondok paguron (Perguruan) tentang Ilmu Agama Islam.
 
Pada waktu Ki Gede Pertapa  hendak memulai membuka hutan Leuweung Gede untuk dijadikan padukuhan, datang serombongan prajurit Pajajaran yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dan Tumenggung Raksabaya. Kedatangan mereka sebenarnya atas perintah Raja Pajajaran untuk meninjau keadaan daerah Cirebon. Namun ketika mengetahui bahwa Ki Gede Pertapa adalah seorang yang memiliki kelebihan dalam bermacam-macam ilmu, akhirnya kedua Tumenggung tersebut berkeinginan untuk berguru kepadanya, yang tidak mereka ketahui bahwa gurunya itu adalah putra mahkota Pajajaran Pangeran Cakrabuana  yang menghilang dari Keraton Pajajaran. Dengan senang hati Ki Gede Pertapa menerima keinginan mereka, asalkan mereka mau memeluk agama Islam. Merekapun menyatakan bersedia.
 
Pekerjaan membuka hutan tetap diteruskan. Ki Gede Pertapa kemudian memerintahkan Pangeran Danalampah, Pangeran Tenjosari, Tumenggung Jagabaya dan Tumenggung Raksabaya untuk mendirikan pondok paguron Logandi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air diperintahkan membuat sumur di Lebak Tangkele, disebeleh selatan Blok Logandi (sekarang Blok Masjid). Sedangkan Ki Gede Pertapa beserta yang lainnya melanjutkan membuka hutan untuk dijadikan pahumaan atau tempat bubuara. (Pabuaran –bhs Sunda, artinya tempat mencari nafkah).
 
Setelah padukuhan terwujud, Ki Gede Pertapa ingin memberi nama padukuhan. Lalu diadakan musyawarah dengan para pengikut dan abdi dalemnya. Pangeran Tenjosari mengajukan usulan agara padukuhan baru itu diberi nama “Leuweung Gajah”, dengan alasan sesuai dengan keadaan alam di daerah hutan (leuweung) itu yang telah dihuni oleh empat puluh satu ekor gajah. Berdasarkan musyawarah mupakat, diputuskan bahwa nama padukuhan itu adalah “Leuweung gajah”.

HABIB TOHA DAN SUMUR KERAMAT
Sekitar abad ke-16, perkembangan agama Islam sangat pesat. Pondok Paguron banyak didatangai orang dengan tujuan ingin menjadi murid dan belajar agama serta belajar ilmu kanuragan. Tidak ketinggalan Ki Jaya meski telah memiliki ilmu tinggi, tetapi ia masih ingin memperdalam ilmu kedigjayaan di paguron Leuweung Gajah. Ki Jaya mempunyai cacat pada mukanya akibat goresan pedang ketika perang tanding dengan musuh.
 
Suatu hari Ki Jaya yang cacat mukanya itu bertemu dengan seorang gadis cantik putri sesepuh Leuweung Gajah. Ki Jaya sangat tertarik dan berkeinginan mempersunting gadis itu. Untuk mencapai maksudnya, ia berusaha sekuat tenaga dengan jalan mengabdikan diri kepada keluarga gadis itu. Dengan harapan pujaannya itu akan mencintainya.
 
Meskipun Ki Jaya telah cukup lama mengabdi kepada keluarga gegeden itu, namun gadis pujaannya itu tidak memberikan harapan sedikitpun. Betapa kecewa dan sakit hati karena cintanya tak terbalas. Dengan perasaan kesal dan penuh rasa dendam Ki jaya meninggalkan Leuweung Gajah.
 
Ki Jaya pergi mengasingkan diri ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Namun ditempat pengasingan itu justru rasa sakit hati dan dendam semakin membara. Timbulah niat jahat, bahkan bukan hanya kepada keluarga gadis itu saja akan membalas kekecewaannya, namun ia pun menaruh dendam kepada seluruh isi padukuhan.
 
Niat jahat Ki Jaya itu dilaksanakan dengan memasukan suatu benda ke dalam sumur Blok Logandi, dimana hampir seluruh penduduk mengambil air untuk keperluan masak dan minum dari sumur tersebut. Akibat Ulah jahat Ki Jaya tersebut timbullah musibah menimpa penduduk Leuweung Gajah. Setiap irang yang mempergunakan air dari sumur itu langsung terkena berbagai penyakit, seperti sakit perut, muntah darah, dan gatal-gatal. Bahkan anak-anak balita terserang penyakit lumpuh, dan gadis-gadis menjadi jauh dari jodohnya. Peristiwa ini sangat menggegerkan dan beritanya tersebar kemana-mana, bahwa sumur Leuweung Gajah beracun. Akhirnya sumur itu dilarang untuk diambil airnya.
 
Karena sumur Leuweung Gajah beracun dan airnya tidak dapat dipergunakan atau dimanfaatkan, maka untuk memenuhi kebutuhan air, penduduk terpaksa ngulak cai (menambil air-bhs sunda) ke daerah Lebak Gede/Cibogo, yang sekarang lebih di kenal dengan nama Desa Cikulak (dalam wilayah Kecamatan Waled). Karena air dari daerah Lebak gede Cibogo  ini tidak mencukupi, Pangeran Danalampah membuat sumur lagi di daerah Damarguna. Sumur tersebut terkenal dengan sebutan “Sumur Pangeran”.
 
Beberapa waktu kemudian, datanglah ke padukuhan Leuweung gajah seorang ulama dari Mesir bernama Habib Toharudin. Beliau datang ke daerah itu untuk mengetahui perkembangan agama Islam di tanah Cirebon yang diterima dengan baik oleh Penduduk Leuweung Gajah, dan dalam waktu singkat terjalin hubungan yang sangat akrab.
 
Habib Toha adalah seorang yang alim dan waskita. Tanpa ada yang meberitahu kejadian sumur beracun, beliau mengetahui sebab musababnya. Atas prakarsa beliau dan izin Ki Gede Pertapa, sumur beracun itu kemudian dikuras. Setelah airnya surut, di dasar sumur itu ditemukan waluh (labu) berwarna hitam. Labu itu kemudian dibelah oleh Habib Toha, dan terjadilah suatu keajaiban. Dari belahan labu itu keluar seekor menjangan wulung berwarna hitam, seraya menjangan itu menghilang sambil berkata bahwa ia hanyalah suruhan seseorang yaitu KI jaya.
 
Untuk membuktikan pengakuan menjangan tadi, dipanggillah Ki Jaya. Di hadapan musyawarah para gegeden, ia mengakui seluruh perbuatan jahatnya. Akhirnya ia memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulang kembali perbuatan seperti itu. Ia menyadari bahwa jodoh, pati, rezeki dan celaka adalah rahasia Yang Maha Kuasa. Kemudian ia diampuni dan diterima kembali sebagai warga padukuhan Leuweung Gajah.
 
Sumur telah dikuras itu kemudian terisi air kembali, dan Habib Toha memasukan hikamh (Karomah) kedalamnya sehingga bersih dari pengaruh racun waluh ireng, dan air sumur itu dapat dimanfaatkan kembali. Segala penyakit yang diderita oleh penduduk di obati dengan mandi di sumur itu sehingga kembali seperti semula.
 
Sejak saat itu sumur Leuweung Gajah banyak didatangi orang dan diambil airnya untuk dipergunakan berbagai hajat atau tujuan, seperti hajt khitanan atau perkawinan, untuk pertanian, perdagangan dan juga agar dapat jodoh hingga sekarang.

Sabtu, 07 Maret 2015

Asal-usul Desa Ujung Gebang

Ketika Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi raja di Keraton Pakungwati Cirebon sebagai Sunan di Gunung Jati sekitar tahun 1482M, beliau memiliki bhayangkari Kerton Pakungwati yang sangat tangguh dipimpin oleh Pangeran Carbon (putranya Mbah Kuwu Cakrabuana) atau disebut Senopati Yudalaga (Panglima Perang Keraton Cirebon).

Salah satu bawahan Pangeran Carbon yang patuh, setia dan pemberani adalah Ayung Brata ("a"= aku, "nyung" = selalu siap siaga, "brata" = perang) yang selalu berada di barisan terdepan ketika terjadi kerusuhan, peperangan dan keributan, karena keberanainya itulah Anyung Brata selalu disayang oleh Pangeran Carbon sebagai panglima perang.


Untuk menambah keprawiraan dan pengetahuan keagamaannya, Pangeran Carbon dan Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang wali yang dianggap mumpuni dalam kema'rifatan yakni Syekh Lemahabang/Syekh Siti Jenar/ Syekh Jabal Rantah.

Namun kemudian, Dewan Wali menganggap ajaran Syekh Lemahabang menyimpang karena tidak sesuai dengan syariat Islam, dan dianggap mengganggu proses penyebaran syariat Islam.

Untuk menghindari pertumpahan darah antara pasukan Demak dan Cirebon, sesepuh Cirebon, Mbah Kuwu Cirebon dan para pelaksana hukum serta para senopati Keraton Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng Bungko dan Pangeran Carbon, menyarankan agar yang diadili adalah Syekh Lemahabang saja sebagai Mahaguru yang harus mempertanggungjawabkannya. Usulan itu disepakati kemudian diadakan sidang tuntutan/ gugatan para wali kepada Syekh Lemahabang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.

Untuk menenangkan diri dan menahan diri jangan sampai terjadi perang saudara (perang kadang ibur batur), Anyung Brata membawa istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan, puterinya, dan abdinya yang setia yaitu Ki Gawul (Ki Tambak) dan Ki Santani (Ki Bogo), yang berasal dari daerah Pasundan. Mereka meninggalkan Keraton Pakungwati ke arah barat daya Wilayah Keraton Pakungwati Cirebon di perbatasan wilayah Darma Ayu (Indramayu). Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti masyarakat biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan Pedukuhahan.

Untuk mengatasi kebutuhan akan perairan, dibuatlah sumur pertama yang diberi nama Satana (asat tapi ana – sedikit tapi ada). Karena air dari sumur tersebut terasa asin seperti air laut, Anyung Brata mencari lokasi/tanah yang tepat ke arah tenggara. Dan dibukalah sumur yang kedua, yang mengeluarkan air deras, rasanya tawar dan diberi nama Sumuran.

Tanah hasil bukaan hutan tersebut sangat subur, cocok untuk pertanian dan palawija. Anyung Brata membabat hutan untuk dijadikan sawah dan diberi nama Blok Sri Berkah ("sri" = padi, "berkah" diharapkan mendapat berokah) atau dinamai Si Berkat.

Sejarah yang sangat berkaitan dengan Ujunggebang adalah ketika seorang putri dari wilayah Darma Ayu (Indramayu) yang bernama Nyi Mas Pandansari atau disebut juga Nyi Mas Junti melarikan diri dari kejaran seorang saudagar kaya dari negeri Cina yang hendak meminangnya yang bernama Sam Po Kong/ Sam Po Toa Lang atau disebut Dampo Awang dan ditolong oleh Seorang wali bernama Syekh Benthong.

Singkat Cerita, setelah melalui wilayah – wilayah yang dikemudian hari diberi nama Desa Junti Kedokan, Junti Kebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat, singgahlah Nyi Mas Pandansari di sebuah sumur di Desa Cadangpinggan (wilayah Kertasemaya, Indramayu untuk sekedar melepas haus (selanjutnya sumur tersebut dikenal dengan nama Sumur Pandansari).

Kemudian Syekh Benthong dan Nyi Mas Junti berjalan kaki memasuki wilayah kekuasaan Keraton Cirebon, bertemu dengan Anyung Brata yang sedang menggarap sawah Sri Berkah/Si Brekat. Setelah berkenalan Syekh Benthong menitipkan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti kepada Anyung Brata dan menceriterakan perihal Nyi Mas Junti.

Untuk mengecoh Dampo Awang yang masih mengejarnya, Syekh Benthong menghambat perjalanan dengan cara memperdaya pandangan Dampo Awang di Hutan/ Alas Walisurat.

Selanjutnya keselamatan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti diserahkan kepada Anyung Brata. Kemudian Syekh Benthong pun melanjutkan perjalanan.


Karena khawatir keberadaan Nyi Mas Junti diketahui oleh Dampo Awang, maka Anyung Brata menyembunyikan Ny Mas Junti di puncak pohon Gebang (Corypha umbraculifera, sejenis palma tinggi besar dari daerah dataran rendah) yang daunnya lebat menyerupai kipas sehingga tidak terlihat.
Peristiwa tersebut diabadikan dengan memberikan nama pedukuhan tersebut dengan nama Pedukuhan Ujunggebang ("ujung" = pucuk, "gebang" =pohon Gebang). Kini Pedukuhan Ujunggebang menjadi Desa Ujunggebang.

Terpedaya dengan Syeikh Benthong, Ki Dampo Awang mencari berputar-putar sehingga kelelahan dan beristirahat di tepi sebuah parit (kalen sepuluh)
Atas pertanda yang diberikan Syekh Benthong, akhirnya Ki Dampo Awang pergi ke suatu daerah yang bernama Trusmi untuk menemui bakal jodohnya dan merelakan untuk menyudahi pencariannya atas Nyi Mas Pandansari.

Sepeninggal Dampo Awang, Nyi Mas Junti dilepaskan, lalu menikah dengan Anyung Brata menjadi istri kedua.

Di pedukuhan tersebut, yang diberi tugas pengamanan Padukuhan adalah Ki Gawul dan Ki Santani. Ki Gawul bertugas jaga malam mengelilingi desa dengan naik kuda dan pos jaga di Wangan Jagadalu/ perbatasan Ujunggebang - Desa Bunder, sedangkan Ki Santani bertugas jaga siang dengan berkuda mengelilingi desa dengan pos jaga di Sungai Jagasiang (sebelah timur Desa Ujunggebang).

Oleh karena mereka bekerja tanpa pamrih, sebagai rasa terima kasih masyarakat padukuhan Ujunggebang senantiasa memberi sedekah berupa uang, kue atau makanan lainnya kepada mereka.

Jasa lain Ki Gawul adalah kemampuannya membendung (nambak) Kedungparen yang curam dan sulit dilewati oleh masyarakat yang akan menuju Situs Buyut Murti/ Makam Kidul. Karena jasanya tersebut, Ki Gawul disebut Ki Tambak.

Setelah Anyung Brata wafat, sebagai balas jasa sebagai bayangkari keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara kawula dan gusti, Anyung Brata dimakamkan di kompleks Makam Sunan Gunung Jati di sebelah barat (blok Pamungkuran).


Sedangkan jenazah Nyi Mas Kejaksan disemayamkan di pedukuhan Ujunggebang, begitu pun Nyi Mas Pandansari/ Nyi Mas Junti. Oleh karena itu setiap tahun acara Mapag Sri dan Unjungan, sebagian masyarakat dari Desa Juntikedokan, Juntikebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat datang berziarah di Makam Nyi Mas Junti yang berada di Desa Ujunggebang.

Makam Nyi Mas Kejaksan dan Nyi Mas Junti dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu Buyut Jembar sampai dengan keturunannya (sebagai juru kunci).

Adapun Ki Santani setelah wafat dimakamkan di Situs Ki Bogo yang berada di tengah pedukuhan, sementara Ki Gawul dimakamkan di pojok sebelah tenggara Desa Ujunggebang di dekat Kedungparen yang ditambak olehnya. Masyarakat Ujunggebang menyebutnya Situs Ki Tambak.

Asal Usul Desa Buyut

Buyut berasal dari panggilan kehormatan kepada Ki Bengkul Manunggul karena kesaktian dan umurnya yang sangat panjang (Sejak jamannya Ki Gede Tapa- Subang larang – Lara santang samapi Sunan Gunung Jati).

Ki Bengkul Manunggul adalah sesepuh sakti penganut Budha yang simpati pada Islam. Sebutan Ki Buyut dilatarbelakangi karena kepala daerah Ki Buyutan atau daerah perdikan adalah daerah bebas panen, bebas dari kewajiban menyerahkan upeti kepada Kerajaan Pajajaranmeskipun merupakan bagian Kerajaan Pajajaran. Oleh karena itu bisa juga disebut Merdeka.

Ki Buyut adalah sebagai pendamping Kepala Daerah, kesatuan, kuwu, Ki Gede yang bertanggung jawab dalam hal spiritual. Bisa juga disebut sebagai penasehat spiritual.

Ki Buyut disamping sebagai Kepala daerah juga sebagai pendamping Pangeran Surawijaya Sakti dan Ki Gede Tapa/Ki Jumajan Jati yang masing-masing sebagai penguasa nagari Singapura dan Syahbandar Pelabuhan Muara Jati.

Karena simpati pada agama Islam, maka ketika Ki Gede Tapa mengajaknya untuk mengusir Syekh Dahtil kahfi dari Gunung Jati karena mendirikan pangguron Islam, beliau menolak bahkan berhasil menyadarkan Ki Gede Tapa.

Ki Bengkul Manunggul juga pernah berjasa dalam pengawalan Sunan Gunung Jati ketika dalam perjalanan untuk mengislamkan Pajajaran, dalam menghadapi rintangan dari Buyut Semar, Sang Hyang Majalaku dan Harimau jadi-jadian. Beliau adalah pemimpin pengawal yang berjumlah sepuluh orang. Untuk mengabadikan namanya panggilan “Buyut” menjadi nama desanya yakni desa BUYUT sampai sekarang.

Asal Usul Desa Karangwareng

Desa karang Wareng dahulunya merupakan sebuah padukuhan yang disebut Buletan Harja yang dibangun sekitar abad ke – 15 oleh dua orang Jawara yang sangat terkenal kesaktiannya. Disebut Karangwareng oleh karena disini terdapat pohon wareng. Kedua orang jawara itu adalah :

          1. Pangeran Cakrabuana dibantu oleh Buyut Gawul, Buyut Dingkul, Buyut Walang, dan Buyut Weling yang sampai sekarang makamnya masih terawat diwilayah Desa Karangwareng.
     2 Tamiyang Sono makamnya disebelah barat masjid Desa. Pada awal perkembangannya, daerah Karangwareng berada dibawah kekuasaan Pangeran Pangembangan (Pangeran Sutajaya Upas), dimana penduduk Karangwareng setiap tahun diharuskan membayar upeti berbagai macam kebutuhan seperti beras dan hewan peliharaan. Untuk menjalankan roda pemerintahan, Pangeran Sutajaya menunjuk Ki Buyut Ngabei sebagai Kuwu pertama yang terkenal kemana-mana karena kesaktian dan kejatanannya berkat ajimat dari Pangeran Sutajaya Upas. (Makam Ki Buyut Ngabei hingga kini masih ada, terletak disebelah timur lapangan bola Desa Karangwareng – Blok asem).

Ki Buyut Ngabei, mempunyai kaki tangan (pasukan) yang bernama Pasukan Gelap, Pasukan tersebut terdiri dari Ki Buyut Ngadinah, Buyut Cengklok dan Buyut Garana yang tugasnya untuk menjaga keselamatan desa dan rakyatnya. Jika ada tetamu yang datang ke Desa Karangwareng dengan iktikad tidak baik, bertindak sewenang-wenang dan melanggar adat istiadat, maka pasti akan berhadapan langsung dengan kaki tangan Ki Buyut Ngabei. Sebaliknya, apabila tetamu datang dan berdiam di Desa Karangwareng dengan tunduk dan taat terhadap adat istiadat desa, dipastikan tetamu ini mendapatkan kemuliaan serta memperoleh penghargaan dari seluruh  penduduk desa.

Disebagian rakyat Karangwareng berkembang kepercayaan bahwa setiap bayi laki-laki maupun perempuan dilarang memakai gelang kerencengan di kakinya. Juga dilarang memakai cecentul di atas rambut atau ubun-ubun, sebab dahulu ketika keruhun Karangwareng mengetahui akan terjangkit suatu wabah penyakit atau akan mendapatkan kebahagiaan dan kemakmuran, maka para keruhun tersebut mengelilingi wilayah Desa Karangwareng waktu tengah malam(Biasanya pada malam jum’at kliwon), serta memakai kerencengan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diharapakan.

Disebelah barat alun-alun Desa karangawareng dahulu ada pagubangan badak dan goa siparung anjing. Rakyat yang suka prihatin dan percaya pada keramat sesepuh desa, meyakini bahwa pada waktu sepi ditempat itu akan muncul binatang seperti badak.

Sebelum tentara Belanda datang, goa tersebut masih terdapat lobangnya. Kemudian tentara belanda membuat barak tempat makanan kuda di alun-alun dimana kotorannya dibuang ke sembarang sehingga menutup lobang goa. Akibatnya kuda-kuda kompeni yang banyak itu semuanya mati, karena kompeni tidak menghargai tempat keruhun tersebut yang dipercaya dijaga oleh Pangeran Sukmaningrat, tangan kanan (orang kepercayaan) Pangeran Sutajaya Upas dan Pangeran Cakrabuana. Selain itu, ketika masih ada pohon asam dan beringin yang besar di tengah alun-alun, pada malam Jum’at Kliwon atau pada malam yang baik, suka terlihat oleh orang yang sedang tirakat/prihatin ada cahaya yang menyala seperti patromak.

Sekarang ini di tengah alun-alun Desa Karangwareng berdiri tegak sebuah pohon beringin  setengah besar. Konon ditempat tersebut masih ada yang menunggunya yaitu keruhun desa.
Adat Desa yang masih berlaku :
1.       Setiap tahun jika akan membuka tanah/sedekah bumi atau mapag sri dan akan panen diadakan selamatan atau syukuran di bali desa atau suka diadakan pagelaran wayang kulit.
2.       Setelah panen padi juga diadakan selamatan/syukuran di balai desa.
3.       Apabila da musibah yang menimpa warga desa seperti terserang wabah penyakit atau kesusahan lainnya, diadakan syukuran/doa tulak bala dengan membuat tumpeng di alun-alun balai desa/perapatan jalan yang disebut babarik.
4.       Semua orang juga perangkat Desa karangwareng dilarang memukul meja didesa dalam keadaan bagaimanapun, apalagi dalam keadaan emosi.   

Rabu, 04 Maret 2015

Masjid Merah Panjunan Cirebon digunakan Wali Songo untuk Menyebarkan Agama Islam



Dilihat dari luar, Masjid Merah Panjunan sangat menarik perhatian, terutama bagi orang yang baru pertama kali datang ke Cirebon, Jawa Barat. Warna merah bata mendominasi keseluruhan bangunan yang didirikan pada tahun 1480 ini. Masjid Merah Panjunan terletak di Kampung Panjunan, kampung pembuat jun atau keramik porselen. Bangunan ini didirikan oleh Pangeran Panjunan yang adalah murid Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo (Sembilan Wali), penyebar Islam di Jawa.
Perpaduan Arab dan Tiongkok ini tak lain terjadi karena Cirebon, yang pernah bernama Caruban pada masa silam, adalah kota pelabuhan. Lantaran lokasi masjid itu di kawasan perdagangan, sungguh tak aneh jika Masjid Merah—semula mushala Al-Athyah— tumbuh dengan berbagai pengaruh, seperti juga semua keraton yang ada di Cirebon.

Dalam sebuah catatan sejarah yang mengacu pada Babad Tjerbon, nama asli Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman. Dia memimpin sekelompok imigran Arab dari Baghdad. Sang pangeran dan keluarganya mencari nafkah dari membuat keramik. Sampai sekarang, anak keturunannya masih memelihara tradisi kerajinan keramik itu, meski kini lebih untuk tujuan spiritual ketimbang komersial.
Catatan tersebut juga menyatakan, selain untuk tempat beribadah, masjid ini juga dipakai Wali Songo untuk berkoordinasi dalam menyiarkan agama Islam di daerah Cirebon dan sekitarnya. Masjid yang konon dibikin hanya dalam waktu semalam ini lebih mirip surau karena ukurannya kecil. Kemeriahan memuncak pada Ramadhan, ketika orang, baik dari dalam maupun luar kota, berburu takjil, hidangan buka puasa, berupa gahwa alias kopi jahe khas Arab.
Akan banyak orang bertanya-tanya mengapa di masjid ini juga penuh dengan ornamen bernuansa Tionghoa. Misalnya, piring-piring porselen asli Tiongkok yang menghias penghias dinding. Ada sebuah legenda bahwa keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Adanya hubungan dengan Tiongkok sejak zaman Wali Songo itu juga ditunjukkan dengan keberadaan Vihara Dewi Welas Asih, sebuah wihara kuno dengan dominasi warna merah yang berdiri tak jauh dari masjid.
Bangunan lama mushala itu berukuran 40 meter persegi saja, kemudian dibangun menjadi berukuran 150 meter persegi karena menjadi masjid. Pada tahun 1949, Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati) membangun pagar Kutaosod dari bata merah setebal 40 cm dengan tinggi 1,5 m untuk mengelilingi kawasan masjid.
Keunikan lain dari struktur bangunan adalah bagian atap yang menggunakan genteng tanah warna hitam dan hingga kini masih dijaga keasliannya. Namun sayangnya, beberapa keramik yang ada di tembok pagar ada yang sudah dicukil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama yang ada pada bagian pagar temboknya. Compas.com


Minggu, 01 Maret 2015

PETUAH - PETUAH SUNAN GUNUNG JATI


INGSUN TITIP TAJUG LAN FAKIR MISKIN 
AKU TITIP TAJUG DAN FAKIR MISKIN


YEN SEMBAHYANG KUNGSI PUCUKE PANAH
JIKA SHALAT HARUS KHUSYUK DAN TAWADHU SEPERTI ANAK PANAH YANG MENANCAP KUAT


YEN PUASA DEN KUNGSI TETALING GUNDEWA
JIKA PUASA HARUS KUAT SEPERTI TALI PANAH

IBADAH KANG TETEP 
IBADAHA HARUS TERUS MENERUS


WEDIA ING ALLAH
TAKUTLAH KEPADA ALLAH


MANAH DEN SYUKUR ING ALLAH
HATI HARUS BERSYUKUR KEPADA ALLAH

KUDU NGAKEHING PERTOBAT
BANYAK BANYAKLAH BERTOBAT

AJA NYINDRA JANJI MUBARANG 
JANGAN MENGINGKARI JANJI


PEMBORABAN KANG ORA PATUT ANULUNGI
YANG SALAH TIDAK USAH DITOLONG


AJA NGAJI KEJAYAAN KANG ALA RAUNTAH
JANGAN BELAJAR UNTUK KEPENTINGAN YANG TIDAK BENAR ATAU SALAH DIGUNAKAN


SINGKIRNANG SIFAT KADEN WANCI
JAUHI SIFAT YANG TIDAK BAIK

DUWEHA SIFAT KANG WANTI

 MILIKILAH SIFAT-SIFAT YANG BAIK

AMAPESA ING BINA BATAN
JANGAN SERAKAH ATAU BERANGASAN DALAM HIDUP


ANGADAHNA ING PERPADU
JAUHILAH PERTENGKARAN


AJA ILOK NGAMAD KANG DURUNG YAKIN
JANGAN SUKA MENCELA SESUATU YANG BELUM TERBUKTI KEBENARANNYA


AJA ILOK GAWE BOBAD
JANGAN SUKA BERBOHONG


ING PANEMU AJA GAWE TINGKAH
BILA PANDAI JANGAN SOMBONG


KENANA ING HAJATE WONG
KABULKAN KEINGINAN ORANG


AJA DAHAR YEN DURUNG NGELI
JANGAN MAKAN SEBELUM LAPAR


AJA NGINUM YEN DURUNG NGELOK
JANGAN MINUM SEBELUM HAUS


AJA TURU YEN DURUNG KETEKAAN ARIP
JANGAN TIDUR SEBELUM NGANTUK


YEN KAYA DEN LUHUR
JIKA KAYA HARUS DERMAWAN


AJA  ILOK NGIJEK RAROHI ING WONG
JANGAN SUKA MENGHINA ORANG LAIN


DEN BISA MEGENG ING NAFSU
HARUS DAPAT MENAHAN HAWA NAFSU


ANGASANA DIRI
HARUS MAWAS DIRI


TEPO SALIRO DEN ADOL
TAMPILKAN PERILAKU YANG BAIK


NGOLETANA REJEKI SING HALAL
CARILAH REJEKI YANG HALAL


AJA AKEH KANG DEN PAMRIH
JANGAN BANYAK MENGHARAPKAN PAMRIH


DEN SUKA WENAN LAN SUKA MABERIH GELIS LIPUR
JIKA BERSEDIH JANGAN DIPERLIHATKAN AGAR SEPAT HILANG


GEGUNEM SIFAT KANG PINUJU
MILIKILAH SIFAT-SIFAT TERPUJI


AJA ILOK GAWE LARA ATI ING WONG
JANGAN SUKA MENYAKITI HATI ORANG LAIN


AKEH LARA ATI ING WONG, NAMING SAKING DURIAT
JIKA DISAKITI ORANG, HADAPILAH DENGAN KECINTAAN TIDAK DENGAN ANIAYA


AJA ILOK GAWE KANIAYA ING MAHLUK
JANGAN MEMBUAT ANIAYA KEPADA MAHLUK LAIN


AJA NGAGUNGAKEN ING SALIRA
JANGAN MENGAGUNGKAN DIRI SENDIRI


AJA UJUB RIA SUMA TAKABUR
JANGAN SOMBONG DAN TAKABUR


AJA DUWE ATI NGUNEK
JANGAN MEMILIKI HATI PENDENDAM


DEN HORMAT ING WONG TUA
HARUS HORMAT KEPADA ORANG TUA


DEN HORMAT ING LELUHUR
HARUS HORMAT KEPADA LELUHUR

HORMATEN, EMANEN, MULYAKEN ING PUSAKA
HORMAT, SAYANGI, DAN MULYAKANLAH PUSAKA


DEN WELAS ASIH ING SAPAPADA
HENDAKNYA MENYAYANGI SESAMA MANUSIA
 
MULYAKEN ING TETAMU
HORMATILAH PARA TAMU
 
Copyright © 2015 Kabupaten Cirebon
Modif By Ari Saeful Bahri